Sabtu, 01 Agustus 2015

Cerita Tentang Mak Enjum :)


Saya lahir di Garut, tepatnya di Asrama militer Yonif 303, Desa Cibuluh, Cikajang. Sewaktu saya lahir dan sampai menginjak usia 7 tahun, saya punya perawat yang ngasuh saya, namanya Mak Enjum. Sebenernya menurut cerita mama, Mak Enjum udah tinggal dan kerja dirumah kami sebelum saya lahir. Baiklah :)

Mak Enjum tinggal di 'lembur' deket asrama, beliau tinggal bersama anaknya, namanya Bi Inah, juga menantu, serta cucunya. Suami Mak Enjum udah lama meninggal. Waktu itu usia Mak Enjum udah diatas 50 tahun. Jarak rumah Mak Enjum deket dari asrama kami, makanya saya sering banget main  kesana. Walaupun Mak Enjum kerja dirumah, tapi beliau udah saya anggap seperti nenek saya sendiri, makanya setiap pergi kemana-mana, Mak Enjum selalu ikut.

Mak Enjum ini selalu manggil saya dengan sebutan 'neng'. Beliau seorang yang penyabar banget, rajin, selalu bangun pagi, dan suka kerja keras, pinter masak, dan yang paling penting, mak enjum ngga pernah ketinggalan sholatnya. 

Mak enjum juga suka banget 'nyirih', sama kaya opung saya. Mungkin karena faktor usia ya, katanya mereka nyirih buat menguatkan gigi, biar ngga cepet ompong. hihi. Jadi, setiap mak enjum udah  ambil ancang-ancang mau nyirih nih, saya selalu ngikutin dia, terus saya yang nyiapin rempah-rempah buat dia nyirih, dan biasanya saya ngeliatin mak enjum ngunyah sirihnya sampe habis dan ngga jarang, beliau juga selalu nunjukin gigi-nya yang berwarna merah, karena sisa sirihnya sambil ketawa sama saya. hehe 

Mak enjum adalah orang yang selalu membela dan ngga tegaan saat saya, abang-abang, atau adik saya lagi dimarahin atau dihukum sama mama karena kenakalan kita. Beliau pasti selalu bilang ke mama kaya gini : "neng, karunya atuh neng?" artinya : kasihan itu, neng'.  Jadi, bisa dibilang dulu kita agak lega kalo ada mak enjum. haha

Sewaktu di Garut, mama dipercayakan untuk ngurus kantin di asrama, selain itu kita juga bikin usaha kue bolu kukus, donat cokelat, dan es kacang ijo, dan itu semua selalu dianter ke kantin, sama diwarung-diwarung deket asrama. Nah, Mak Enjum ini yang jadi bagian nganter dan ngambil ke warung. Pagi-pagi mak enjum nganter makanan ke warung-warung, dan sebelum maghrib biasanya mak enjum ngambil sisa dagangan lagi kesana.

Saya paling getol kalo udah ikut sama mak enjum ngambil sisa-sisa dagangan, kadang beliau selalu nolak saya sih kalo saya minta ikut, katanya takut saya masuk angin, dll. tapi, setelah saya merengek, ahirnya mak enjum pun luluh.  Letak asrama kami  masih berada di kaki gunung papandayan, dan sudah pasti udaranya dingin . Makanya, dagangan harus diambil sebelum maghrib, biar ngga terlalu dingin, dan biar mak enjum ngga ketinggalan sholat juga.

Warung-warung deket asrama kami jaraknya lumayan agak jauh, ada yang dibawah lembur, ada yang deket sekolah, ada yang deket lapangan bola, dan itu semua kita tempuh dengan berjalan kaki. Kebanyakan dagangan yang tersisa itu es, jadi kalo kita liat masih ada sisa, biasanya saya sama Mak enjum yang abisin sambil jalan balik ke rumah sambil bercanda.

Banyak kenangan indah saya sama Mak Enjum, tapi kenangan yang paling menyedihkan adalah ketika kami sekeluarga harus pindah ke Jakarta, karena papa dipindah tugaskan kesana, mau ngga mau kami pindah. Seinget saya, waktu itu saya nangis ngga berhenti, karena saya ngga mau pindah ke Jakarta dan karena Mak Enjum ngga bisa ikut sama kita. Mama bilang, waktu itu Mak Enjum ngga bisa ikut, karena faktor usianya yang udah ngga kuat pergi jauh, dan dia juga ngga bisa ninggalin keluarganya disana. Akhirnya, memasuki tahun 2000-an kami pindah ke Jakarta, tanpa mak enjum :(

Saya nulis ini karena saya kangen dan teringat sosok beliau. Semenjak kami pindah  ke Jakarta, kami jarang berhubungan lagi sama Mak Enjum. Itulah sebabnya kota Garut punya tempat tersendiri di hati saya, selain saya lahir disana, saya juga punya Mak Enjum. Saya selalu pengen ke Garut lagi, tapi belum ada kesempatan. Malahan abang saya yang udah bernostalgia duluan kesana.

Sewaktu abang saya di Garut, dia mampir kerumah Mak Enjum. Katanya rumahnya masih sama, dan Mak Enjum masih sehat walaupun pendengarannya sedikit terganggu. tapi katanya, mak enjum masih kenal, dan nanya kabar kami semua. Saya nangis ketika abang saya cerita, sedih karena saya belum ada kesempatan kesana, sekaligus bahagia denger kabar mak enjum yang masih sehat.

Sehat-sehat terus ya mak. Kita sayang mak enjum :)


Kamis, 18 Juni 2015

21:50



Setiap orang yang berjiwa besar punya kisah dibelakang layar yang berantakan. Mereka pernah takut, kuatir, ragu, dan menangis. Mereka pernah berjalan didalam kegelapan yang seakan tanpa akhir. Mereka pernah terintimidasi. Mereka pernah jatuh. Mereka pernah kehilangan makna hidup. Mereka pernah merasa bahwa mereka hanyalah orang-orang yang bermimpi terlalu muluk.

Hanya saja mereka tidak pernah berhenti berjalan atau bahkan merangkak. Mereka tidak pernah berhenti bergerak maju. Mereka memacu dirinya sendiri untuk terus berjalan dengan penuh harapan. Mereka berjuang sendiri dengan segenap kekuatan yang mereka punya untuk selalu berada dalam ritme yang benar.

Didalam hening mereka berteriak, didalam hening mereka menangis, didalam hening mereka mereka-reka dan mencari jawaban. Tidak banyak yang tahu kisah dibelakang layar ini, karena yang terpenting bukan pengakuan dan simpati dari orang lain, melainkan hubungan yang personal dengan penciptanya.

Minggu, 17 Mei 2015



Di sebelah kiri dia tidak ada. Dia juga tidak terlihat di sebelah kanan. Mata saya tetap mencari potongan dari surga yang jatuh ke bumi itu.

Ke mana? Hilang begitu saja dan saya hanya bisa menatap lama.

Sepi dan bisa mendengar detak jarum jam di ruang ini. Kosong. Jutaan manusia tidak ada artinya bagi mata saya yang hanya mau melihat kamu.

Sampai kapan, tidak ada yang tahu. Hanya saja semoga tidak lama.


Sabtu, 09 Mei 2015

16:35



Saat ini saya lagi me-time, mendengarkan lagu di kamar dengan playlist acak dan secangkir kopi. Menyenangkan.

Sebenarnya saya sudah lama membiasakan me-time ini, karena saya sadar saya butuh waktu saya sendiri untuk mengisi ulang 'tabung energi' emosi. Akhir-akhir ini saya pun kekurangan waktu untuk itu, mungkin hampir ngga ada.

Dan weekend ini saya punya kesempatan untuk mengisi ulang 'gelas' emosi saya. Walaupun inginnya menjauhkan handphone dan mengunci pintu kamar tapi tetap saja saya ngga bisa egois kan. Saya punya beberapa hal untuk dikerjakan dan juga berinteraksi dengan orang lain.

Me-time bisa dibilang sebagai waktu heningnya saya. Membuat saya memikirkan kehidupan yang sudah saya jalani, mengingatkan kembali siapa diri saya sendiri, dan dimana 'rumah' saya. Membuat saya ingat kepada hal-hal yang esensi, dan mengingatkan saya akan kemampuan dan identitas diri saya.

Waktu hening itu penting, tapi bukan artinya kita menjauhkan semua orang disekitar kita. Waktu hening itu  menurut saya artinya kita berpamitan dengan sopan dengan orang-orang disekitar kita, lalu masuk ke kandang sendiri. Setiap orang punya tanggung jawab, baik pekerjaan maupun peran. Sebutuh apapun kita akan waktu hening itu, semua tanggung jawab tetap harus dilaksanakan dengan baik.

Jadi intinya adalah, tahu batasan diri sendiri, sejauh mana kemampuan kita. Mengatur skala prioritas dan memastikan setiap hal berjalan dengan baik adalah salah satu tolak ukur kedewasaan. Memenuhi segala yang esensi supaya 'bensin' terisi buat mendorong diri menyelesaikan tanggung jawab kemudian membatasi dan mengontrol diri supaya punya waktu yang cukup untuk kembali mengisi 'bensin' tersebut.


Taman



Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya kita berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan 'nusia

Chairil Anwar, 1943


 

Template by BloggerCandy.com