Di tengah sengat siang, seorang bapak setengah baya berlari ke
kesana kemari, sesekali menyeka keringat dengan terus menjajakan barang
dagangannya diantara antrian motor dan bis yang berlomba ingin melajukan
kendaraanya. Sesekali raut muka bahagia nampak, ketika satu barangnya telah
laku, tetapi sesekali juga Ia agak sedikit muram dengan bersender dipagar
pembatas jalan, melepas lelah dengan barang yang masih penuh ditangannya.
Seorang perempuan naik dengan tergesa ke bus kota. Takut dengan
mobil-mobil yang tidak sabar dengan klaksonnya yang cerewet. Menghela nafas
saat duduk. Lelah dengan aktifitas harian. Penat. Tidak bisa pergi berbelanja
ke mall seperti yang lain karena harus belajar menghemat. Para pedagang asongan
dan koran merendenginya dengan dagangan dari luar bus. Berisik, ia memalingkan
muka dari jendela. Jenuh. Ingin sesuatu yang baru, yang lebih. Marah, mengapa
hidupnya tidak semenyenangkan yang lain.
Lampu jalanan
berubah hijau. Seorang laki-laki belasan tahun lari tergesa menjauhi bus kota.
Menuju trotoar. Kaki kotornya telanjang di tengah aspal panas. Hati-hati dia
gendong koran-koran jualannya. Mengusap peluh sambil berjalan menuju warung
makan beratap terpal. Tempat makan yang sama, yang dia kunjungi sehari sekali.
Lauk yang sama. Waktu yang sama. Waktu makan siang. Waktu di mana dia dapat
memberi kesempatan kepada perutnya untuk bergembira sesaat.
Tak jauh dari
warung makan beratap terpal itu, di kolong sebuah jembatan batu, ada seorang
gadis kecil duduk memeluk kakinya. Deru mobil mewah di atasnya adalah
satu-satunya musik yang dia dengarkan nyaris seharian. Tangan kusam dan hitam
legam itu mengorek bebatuan di samping kakinya. Semoga ada orang baik yang
membelikannya nasi bungkus. Atau dia harus merelakan satu hari lagi tanpa
makanan.
Dari jauh seorang
tua renta tertatih pelan. Hendak menuju jembatan batu, berlindung dari sengat
matahari di kolongnya. Namun karena lelah, jembatan itu terasa terlalu jauh.
Dia bersender ke tiang di samping sambil menatap kosong. Menjatuhkan tubuhnya
ke jalan. Meringkuk. Panas. Lapar. Entah kapan terakhir makan. Lelah, ingin
tidur. Dia menutup matanya, tanpa mengetahui bahwa mata itu tidak akan terbuka
lagi.
Bis itu terus berjalan…
***
Anugerah Dia beri setiap hari sehingga menjadi biasa dan
terbiasa. Lalu meminta lebih, tanpa melihat mereka yang kurang. Manusia memang
kadang suka lupa mengucap syukur.
Intinya, kehidupan ngampus yang memaksa naik kendaraan umum tiap
harinya membuat saya jadi dipaksa melihat sekitar. Saya jauh lebih beruntung
dibanding mereka di sekeliling saya dan saya bersyukur karenanya.
Tapi saya punya satu kesamaan dengan mereka. Suara saya. Jarang
didengar. Dan saya juga lelah bersuara. Mahal soalnya kalo mau didengar dan
saya tidak sekaya itu.
Dan semoga, kesamaan ini membuat saya ingin berbagi dengan
mereka, yang mana pada dasarnya kami sama. Seonggok daging yang bisa bicara dan
punya nama, begitu kalo kata Donny Dhirgantoro. Tapi saya mencoba untuk tidak
hanya menjadi seonggok daging itu. Saya mau punya makna. Dan saya akan
berusaha.
Berusaha untuk berbagi dan melihat kehadiran Sang Pencipta dalam
setiap manusia.
(terinspirasi saat membaca "2" by Donny Dhirgantoro,
dan akhirnya terpublikasikan, setelah sekian lama cerita ini cuma tersimpan
berupa draft di notes handphone )
1 komentar:
NICE....! ditunggu postingan selanjutnya yah..
Posting Komentar