Seorang mahasiswi berjalan cepat di jembatan penyeberangan. Tergesa-gesa menuju kampus, mengingat belum ada materi ujian yang ia pelajari. Semalam ia nyaris tidak tidur. Ada telepon yang mengabari bahwa rumahnya baru saja kemalingan. Ibu masih terguncang dan sering pingsan. Uang untuk operasi usus buntu adik yang baru diambil dari bank pun tidak luput dari tangan si jahat. Andai ayah masih ada, ibu tidak perlu sendirian menanggung segalanya.
Perutnya berteriak kelaparan, tapi uang hanya cukup untuk makan sekali nanti siang. Jatah ongkos untuk angkot pun habis, diganti dengan jalan kaki dari kost menuju kampus.
*
Ibu pengemis tua duduk di sisi jembatan penyeberangan. Sesekali merapikan koran alas duduknya. Teringat anaknya yang terbaring di rumah, demam sudah 3 hari. Tidak ada obat, hanya air putih dan kain hangat basah untuk mengobati. Badannya lelah, semalam menjual pecel di stasiun hingga subuh. Sekarang menyempatkan mengemis sebelum kembali memulung.
Matanya menatap kosong orang-orang yang berlalu-lalang. Hampa.
*
Mahasiswi itu melihat ibu tua yang mengemis dari jauh. Ingin memberikan uang tapi tidak ada tersisa. Lagipula, pengemis seperti itu hanya malas, bisa bekerja tapi lebih memilih duduk santai menanti uluran tangan memberi uang, pikirnya. Payah.
Ia pun berlalu tanpa memandang.
*
Pengemis itu memalingkan muka. Dasar, perempuan angkuh. Ia kaya, kenapa tidak mau berbagi. Sedikit saja, tidak rugi apapun. Masih bisa kuliah dan pulang ke rumah nyaman dengan anggota keluarga sehat tapi tidak sedikitpun mau berbagi, pikirnya. Sombong.
Ia pun mendengus kesal.
**
“With the tremendous acceleration of life, we grow accustomed to using our mind and eye for seeing and judging incompletely or incorrectly, and all men are like travelers who get to know a land and its people from a train.” - Friedrich Nietzsche in Human, All Too Human
“Do not judge, or you too will be judged." -Matthew 7:1
0 komentar:
Posting Komentar